Jumat, 27 Mei 2011

PERAN UKM DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Peran UKM dalam perekonomian Indonesia
Peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia pada dasarnya sudah besar sejak dulu. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, peranan UKM meningkat dengan tajam. Data dari Biro Pusat Statistik1 (BPS). menunjukkan bahwa persentase jumlah UKM dibandingkan total perusahaan pada tahun 2001 adalah sebesar 99,9%. Pada tahun yang sama, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai 99,4% dari total tenaga kerja. Demikian juga sumbangannya pada Produk Domestik Bruto (PDB) juga besar, lebih dari separuh ekonomi kita didukung
oleh produksi dari UKM (59,3%). Data-data tersebut menunjukkan bahwa peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan output.
Meskipun peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral, namun kebijakan pemerintah maupun pengaturan yang mendukungnya sampai sekarang dirasa belum maksimal. Hal ini dapat dilihat bahkan dari hal yang paling mendasar seperti definisi yang berbeda untuk antar instansi pemerintahan. Demikian juga kebijakan yang diambil yang cenderung berlebihan namun tidak efektif, hinga kebijakan menjadi kurang komprehensif, kurang terarah, serta bersifat tambal-sulam. Padahal UKM masih memiliki banyak permasalahan yang perlu mendapatkan penanganan dari otoritas untuk mengatasi keterbatasan akses ke kredit bank/sumber permodalan lain dan akses pasar. Selain itu kelemahan dalam organisasi, manajemen, maupun penguasaan teknologi juga perlu dibenahi. Masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh UKM membuat kemampuan UKM berkiprah dalam perekonomian nasional tidak dapat maksimal. Salah satu permasalahan yang dianggap mendasar adalah adanya kecendrungan
dari pemerintah dalam menjalankan program untuk pengembangan UKM seringkali merupakan tindakan koreksi terhadap kebijakan lain yang berdampak merugikan usaha kecil (seperti halnya yang pernah terjadi di Jepang di mana kebijakan UKM diarahkan untuk mengkoreksi kesenjangan antara usaha besar dan UKM), sehingga sifatnya adalah tambal-sulam. Padahal seperti kita ketahui bahwa diberlakunya kebijakan yang bersifat
tambal-sulam membuat tidak adanya kesinambungan dan konsistensi dari peraturan dan pelaksanaannya, sehingga tujuan pengembangan UKM pun kurang tercapai secara maksimal. Oleh karena itu perlu bagi Indonesia untuk membenahi penanganan UKM dengan serius, agar supaya dapat memanfaatkan potensinya secara maksimal. Salah satu pembenahan utama yang diperlukan adalah dari aspek regulasinya.
Potret UKM
UKM kurang mendapatkan perhatian di Indonesia sebelum krisis pecah pada tahun 1997. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia (yang telah meruntuhkan banyak usaha besar) sebagian besar UKM tetap bertahan, dan bahkan jumlahnya meningkat dengan pesat perhatian pada UKM menjadi lebih besar, kuatnya daya tahan UKM juga didukung oleh struktur permodalannya yang lebih banyak tergantung pada dana sendiri (73%), 4% bank swasta, 11% bank pemerintah, dan 3% supplier (Azis, 2001). Demikian juga kemampuannya menyerap tenaga kerja juga semakin meningkat dari sekitar 12 juta pada tahun 1980, tahun 1990, dan 1993 angka ini meningkat menjadi sekitar 45 juta dan 71 juta (data BPS), dan pada tahun 2001 menjadi 74,5 juta. Jumlah UKM yang ada meningkat dengan pesat, dari sekitar 7 ribu pada tahun 1980 menjadi sekitar 40 juta pada tahun 2001. Sementara itu total volume usaha, usaha kecil dengan modal di bawah Rp. 1 miliar yang merupakan 99,85% dari total unit usaha, mampu menyerap 88,59% dari total tenaga kerja pada tahun yang sama. Demikian juga usaha skala menengah (0,14% dari total usaha) dengan nilai modal antara Rp. 1 miliar sampai Rp. 50 miliar hanya mampu menyerap 10,83% tenaga kerja. Sedangkan usaha skala besar (0,01%) dengan modal di atas Rp. 54 miliar hanya mampu menyerap 0,56% tenaga kerja. Melihat sumbangannya pada perekonomian yang semakin penting, UKM seharusnya mendapat perhatian yang semakin besar dari para pengambil kebijakan. khususnya lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab atas perkembangan UKM. Pengembangan UKM diIndonesia selama ini dilakukan oleh Kantor Menteri Negara
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kementerian Negera KUKM). Selain Kementrian Negara KUKM, instansi yang lain seperti Depperindag, Depkeu, dan BI juga melaksanakan fungsi pengembangan UKM sesuai dengan wewenang masing-masing. Di mana Depperindag melaksanakan fungsi pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan menyusun Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah tahun 2002-2004. Demikian juga Departemen Keuangan melalui SK Menteri Keuangan (Menkeu) No. 316/KMK.016/1994 mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1-5% Iaba
perusahaan bagi pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK). Bank Indonesia sebagai otoritas keuangan dahulu mengeluarkan peraturan mengenai kredit bank untuk UKM, meskipun akhir-akhir ini tidak ada kebijakan khusus terhadap Perbankan mengenai pemberian kredit ke usaha kecil lagi. Demikian juga kantor ataupun instansi lainnya yang terlibat dalam “bisnis” UKM juga banyak. Meski banyak yang terlibat dalam pengembangan UKM namun tugas
pengembangam UKM yang dilimpahkan kepada instansi-instansi tersebut diwarnai banyak isu negatif misalnya politisasi terhadap KUKM, terutama koperasi serta pemberian dana subsidi JPS yang tidak jelas dan tidak terarah. Demikian juga kewajiban BUMN untuk menyisihkan labanya 1 – 5% juga tidak dikelola dan dilaksanakan dengan baik.
Kebanyakan BUMN memilih persentase terkecil, yaitu 1 %, sementara banyak UKM yang mengaku kesulitan mengakses dana tersebut. Selain itu kredit perbankan juga sulit untuk diakses oleh UKM, di antaranya karena prosedur yang rumit serta banyaknya UKM yang belum bankable. Apalagi BI tidak lagi membantu usaha kecil dalam bidang permodalan secara lansung dengan diberlakukannya UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Selain permasalahan yang sudah disebutkan sebelumnya, secara umum UKM
sendiri menghadapi dua permasalahan utama, yaitu masalah finansial dan masalah nonfinansial (organisasi manajemen). Masalah yang termasuk dalam masalah finansial di antaranya adalah (Urata, 2000):
• kurangnya kesesuain (terjadinya mismatch) antara dana yang tersedia yang dapat
diakses oleh UKM
• tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UKM
• Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup
rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan
kecil
• kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan
bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai
• bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi
• banyak UKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya manajemen
keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan
finansial
Sedangkan termasuk dalam masalah organisasi manajemen (non-finansial) di antaranya
adalah :
• kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang
disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi
serta kurangnya pendidikan dan pelatihan
• kurangnya pengetahuan atcan pemasaran, yang disebabkan oleb terbatasnya
informasi yang dapat dijangkau oleh UKM mengenai pasar, selain karena
ketetbatasan kemampuan UKM untuk roonyediakanproduk/ jasa yang sesuai
dengan keinginan pasar
• keterbatasan sumber daya manusia (SDM) secara kurangnya sumber daya untuk
mengembangkan SDM2
• kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi
Di samping dua permasalahan utama di atas, UKM juga menghadapi
permasalahan linkage dengan perusahaan serta ekspor. Permasalahan yang terkait
dengan linkage antar perusahaan di antaranya sebagai berikut :
• Industri pendukung yang lemah.
• UKM yang memanfaatkan/menggunakan sistem duster dalam bisnis belum
banyak.
Sedangkan permasalahan yang terkait dengan ekspor di antaranya sebagai
berikut:
• kurangnya informasi mengenai pasar ekspor yang dapat dimanfaatkan.
• Kurangnya lembaga yang dapat membantu mengembangkan ekspor.
• Sulitnya mendapatkan sumber dana untuk ekspor.
• Pengurusan dokumen yang diperlukan untuk ekspor yang birokratis.
Beberapa hal yang ditengarai menjadi faktor penyebab permasalahanpermasalahan di atas adalah: pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan UKM, termasuk masalah perpajakan yang belum memadai; masih terjadinya mismatch antara fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dan kebutuhan UKM; serta kurangnya linkage antar UKM sendiri atau antara UKM dengan industri yang lebih besar (Urata, 2000). Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang serius serta terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang dibuat untuk mengembangkan UKM.

Sumber : http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Regulasi%20dalam%20revitalisasi%20-%20sri%20adiningsih.pdf

Rabu, 11 Mei 2011

Tingkat kemiskinan Singapore dan Filiphina

Singapura
Kemarin saya baru saja pulang dari Singapura. Tiap kali saya ke sana saya selalu berpikir, aduh kapan ya Indonesia bisa seperti ini? Singapura negaranya sangat maju, bersih dan teratur. Saya sampai bingung dengan sistim mereka.. kendaraan umum di sana biayanya sangat murah, tetapi layanannya luar biasa, kendaraannya nyaman, stasiun-stasiunnya bersih, petunjuk-petunjuknya jelas, dan kendaraan umumnya selalu tepat waktu.
Memang kita tidak bisa membandingkan negara kita ini dengan Singapura dengan begitu saja, karena Singapura luar biasa kecil, dan penduduknya sedikit, sedangkan di Indonesia negara yang besar, penduduknya sangat banyak, banyak sekali ras, suku, agama, bahasa, dan kita semua tinggal di banyak pulau-pulau berbeda, maka itulah yang membuat Indonesia negara yang sangat sulit untuk ditangani.
Tetapi ada beberapa faktor-faktor yang membuat Singapura menjadi negara maju. Penduduknya tertib, sangat taat kepada peraturan. Di sana, tempat umum milik bersama, mereka menghargai orang lain di tempat umum, mereka menghargai bangunan/infrastruktur yang ada. Pembuangan sampah sembarangan jarang ditemukan, tidak banyak vandalisme. Di sana, hukum sangatlah ketat. Koruptor diberi hukuman yang sangat berat, antara lain hukuman mati atau potong tangan. Malaysia dan Cina menerapkan hukum yang sama. Sanksi untuk merokok di dalam kendaraan umum juga sangatlah berat, uang yang harus dibayar bukanlah jumlah yang sedikit.
Singapura, seperti Indonesia, memiliki penduduk dari banyak suku, agama dan ras yang berbeda, tetapi mereka bisa hidup selaras satu sama lain. Tidak ada acara ‘agamamu salah, agamaku benar’, kalaupun ada, hanya menjadi perdebatan yang tidak menyakiti dan merugikan orang lain.
APA bedanya Indonesia dengan Singapura? Indonesia adalah negara besar, sebesar negara-negara Eropa seluruhnya, atau setara dengan Amerika Serikat. Tanahnya subur dan kekayaan alamnya luar biasa, baik di darat, hutan, laut, maupun di dalam kandungan bumi. Sayang, rakyatnya miskin dan terus bertambah miskin.

Kekayaan alam dan kesuburan tanah yang dimiliki bangsa Indonesia tidak diperlakukan dengan baik, sehingga tidak mendatangkaan berkah, melainkan justru mudarat. Hutan yang mestinya memberikan kekayaan hayati yang luar biasa dirusak dan dibakar, sehingga menimbulkan banjir di musim hujan, dan mendatangkan asap kebakaran di musim kemarau. Sawah dan pegunungan yang mestinya membuat petani makmur justru menimbulkan bencana. Gunung meletus, sawah diganti pabrik dan menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan. Kalaupun petani bertahan, harga gabah dan beras terus merosot karena pemerintah kemudian mengimpor beras.

Lautan yang mestinya menjadi sumber kekayaan bagi bangsa dengan negara kepulauan ini tidak mengabarkan adanya nelayan yang hidup makmur. Kabar yang diterima dari sebagian besar nelayan juga sama, kemiskinan. Mereka terjerat utang rentenir, sehingga berapa pun ikan yang diperoleh dari laut tak kunjung cukup membayar para pembunga uang. Lautan yang merupakan wilayah terluas bagi bangsa Indonesia sesekali justru mendatangkan bencana besar berupa tsunami.

Sedangkan Singapura adalah negara kecil, setara dengan luasnya Bandung Raya. Jumlah penduduknya tak lebih dari enam juta orang. Singapura tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah sebagaimana Indonesia. Mereka tidak memiliki tambang dari dalam tanahnya atau menghasilkan kayu dari hutan, demikian pula laut yang luasnya tidak seberapa. Meski demikian, kekayaan Singapura melebihi kekayaan Indonesia. Bahkan berbagai perusahaan dan bank di swasta di Indonesia, termasuk sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) sudah dibeli sahamnya oleh perusahaan-perusahaan Singapura.

Karena kemakmuran negaranya, rakyat Singapura terdidik baik (well educated). Meskipun pemerintah Singapura sering dikritik sebagai pemerintahan otoriter dan sangat keras, namun karena kekerasan hati pemerintah itulah telah melahirkan disiplin nasional yang sangat tinggi. Rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dilaksanakan dengan sangat disiplin dan konsisten. Tanah yang sejak awal direncanakan untuk dibuat bangunan, jalan, atau tempat yang ha­rus dibeton maka dibangun­lah, tapi mereka tidak me­lupakan tanaman dan pohon.

Tanah yang seharusnya digunakan sebagai serapan air tetap dibiarkan terbuka tanpa dipaksakan dengan bangunan-bangunan apa pun. Akibatnya, selain sistem drainase yang begitu bagus, selama musim hujan pun tidak terdengar masyarakat Singapura kebanjiran. Sepanjang pagi hingga sore hari hujan sekalipun, kendaraan tetap hilir mu-dik dengan lancar tanpa dihadang banjir cileuncang. Pendek kata, begitu air datang maka air itu meresap dan dimanfaatkan untuk kehidupan berikutnya.

Musim hujan di Singapura pun taat asas. Rumus orang awam selalu mengatakan, Agustus adalah awal musim hujan. Sedangkan bulan-bulan sesudah itu merupakan puncak musim hujan. Rumus itu benar-benar sesuai dengan "rumus lama" di Indonesia. Sebab, iklim di Indonesia sudah tidak taat asas lagi. Akibat kerusakan lingkungan yang amat dahsyat, bulan-bulan yang diperkirakan masuk musim hujan justru tetap kemarau. Sebaliknya, bulan mestinya sudah musim kemarau justru malah musim banjir. Jangankan hujan sepanjang hari, satu atau dua jam turun hujan, maka banjir menggenang di mana-mana. Akibat lebih jauh, semua masyarakat Singapura relatif jauh terpelihara kesehatannya. Lingkungan hidup mereka sangat mendukung hidup sehat. Anak-anak mereka terdidik dengan baik, bahkan banyak sekali doktor lulusan Amerika, Eropa, dan Cina.

Khusus bidang kedokteran, dokter Singapura mendapatkan kesempatan jauh lebih luas untuk melanjutkan spesialisasi-spesialisasi tertentu. Bahkan karena saking kompetitifnya, banyak dokter spesialis yang spesifik. Misalnya, terdapat dokter khusus menangani trauma akibat olah raga. Berbagai rumah sakit juga dibangun baik milik pemerintah maupun swasta.

Tapi persoalannya, dari manakah pasien rumah-rumah sakit itu? Bukankah masyarakat Singapura relatif terjaga kesehatannya, sehingga sedikit yang sakit? Jumlah rumah sakit pasti tidak sebanding dengan jumlah pasien dari warga Singapura. Dari mana lagi pasien itu kalau bukan dari Indonesia.

"Dari pasien luar negeri, sebanyak 70% pasien berasal dari Indonesia, sisanya terbagi dari berbagai negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan negara-negara Asean lainnya, serta negara-negara Timur Tengah," kata Suwandi Leo, Senior Marketing Manajer (Indonesia) Parkway Group Healthcare PTE LTD, yakni sebuah perusahaan pemasaran rumah-rumah swasta di Singapura seperti RS East Shore, Gleneagels, dan Mount Elizabeth.

Nah lho! Dan pasien itu akan semakin banyak. Alam dan iklim di Indonesia semakin tidak kondusif untuk manusia hidup. Hutan yang gundul dijamin akan mendatangkan banjir dan petaka. Asap dari gas buangan sudah tidak dijadikan pertimbangan lagi menjadi prasyarat tempat manusia hidup normal. Akibatnya, RS-RS di Indonesia selalu penuh sesak, sehingga tidak sedikit pasien yang datang pukul 10.00 pagi baru dapat kamar pukul 12.00 malam. Bahkan jauh lebih banyak masyarakat yang membiarkan dirinya sakit terbaring di rumah tanpa ada yang memedulikannya, karena para tetangganya juga sama-sama miskin sehingga tak mampu bergotong-royong membawa ke rumah sakit.

Di sisi lain, sebagian masyarakat Indonesia yang secara ekonomi lebih beruntung segera terbang ke Singapura untuk berobat. Bukankah perjalanan Jakarta-Singapura lebih cepat ketimbang Jakarta-Medan? Berobat di Singapura tidak perlu antre panjang, dan menunggu dokter yang tidak kunjung tiba. Justru berobat ke Singapura sudah dijemput sejak di bandara dan sampai rumah sakit langsung ditunggu dokter spesialisasi yang diinginkan.

Duh! Kok malah Singapura sih yang mampu melaksanakan "syukrun ni'mah", maksudnya selalu mampu melipatgandakan kenikmatan yang dimilikinya. Sedangkan rakyat Indonesia justru kebagian "siksa Tuhan yang pedih" terus-menerus. Pasti ini terjadi missmanagement. Tapi siapa yang mampu memperbaikinya? (Wakhudin/"PR")***

FILIPHINA
MANILA - Setengah dari keseluruhan penduduk Filipina disebutkan hidup dalam kemiskinan, walaupun pertumbuhan ekonomi berlangsung bagus. Hal ini disampaikan oleh lembaga studi independen Social Weather Station berdasarkan hasil survei yang dilakukan baru-baru ini.

Berdasarkan hasil survei, kata juru bicara lembaga itu, sedikitnya 9,4 juta keluarga atau sekitar 50 persen dari total penduduk dibelit kemiskinan. Jumlah ini meningkat dibanding Maret lalu, yang jumlahnya hanya 43 persen atau 8,1 juta keluarga.

"Kami meminta mereka memilih salah satu di antara dua kartu: miskin atau tidak miskin. Kami tidak menanyakan mengapa mereka merasa miskin," kata salah seorang peneliti di lembaga tersebut, Leo Larosa, seperti dilaporkan kemarin.

Hasil survei ini sangat kontras dengan pernyataan pemerintah bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Filipina 7,9 persen pada pertengahan pertama 2010. Pertumbuhan ini merupakan yang terbaik dalam 20 tahun terakhir.

Menurut seorang petugas ekonomi, hasil survei tidak bisa dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi yang disampaikan pemerintah. Sebab, survei hanya menentukan persepsi orang, sedangkan data pemerintah didasarkan pada pendapatan dan biaya barang-barang penting.

"Survei itu membandingkan situasi mereka. Ada kemungkinan mereka merasa miskin, meskipun punya pendapatan yang cukup," kata Myrna Asuncion, Asisten Direktur Perencanaan Ekonomi Pemerintah.

Survei tersebut diselenggarakan Juni lalu oleh Social Weather Station dengan jumlah koresponden 1.200 orang di seluruh Filipina. Disebutkan bahwa margin error survei sebesar 3 persen.

Kemiskinan merupakan masalah yang paling disoroti di Filipina. Presiden Filipina Benigno Aquino, yang menang mutlak pada pemilihan umum 10 Mei lalu, berjanji akan menghapus kemiskinan di negaranya dengan memberangus korupsi dan membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan.

Pemerintah Filipina sebelumnya menetapkan akan mengurangi angka kemiskinan hingga separuh dari jumlah keseluruhan pada 2015. Ini merupakan salah satu dari delapan target yang dijanjikan akan dipenuhi di bawah program Millennium Development Goals (MDGs) Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Target lainnya adalah mengurangi jumlah warga Filipina berpendapatan rendah yang tak bisa memenuhi kebutuhan pokok mereka. Namun, awal tahun ini, pemerintah Filipina mengakui akan gagal mencapai target MDGs tersebut.
(dat07/tem)

sumber:wikipedia.co.id